DUA lembaga riset, Transparency International Indonesia (TII) dan Center of Economic and Law Studies (Celios), membeberkan sejumlah kejanggalan dan alternatif kebijakan dalam proyek makan bergizi gratis (MBG). Temuan mereka membuka diskusi baru soal keadilan distribusi dan efektivitas program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Berikut lima poin penting yang terungkap dalam peluncuran laman MBG Watch di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025:
1. Yayasan di bawah Polri Dapat Privilege Buka 15 Dapur MBG
TII menemukan adanya perlakuan istimewa bagi lembaga di bawah kepolisian dalam program MBG. Jika yayasan mitra MBG umumnya hanya boleh mengelola maksimal 10 dapur gizi (SPPG), maka yayasan yang berada di bawah naungan Polri bisa membuka hingga 15 dapur. “Kenapa dibedakan? Apa indikatornya yang membedakan?” ujar peneliti TII, Dzatmiati Sari.
2. Yayasan Polri Tak Wajib Lewat Uji Profil dan Transaksi
Selain kuota dapur lebih banyak, yayasan kepolisian juga tidak diwajibkan menjalani pendalaman profil dan transaksi sebelum terdaftar sebagai pengelola SPPG.
Padahal, tahap ini diwajibkan bagi mitra non-Polri untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan transparansi penggunaan anggaran. “Pemerintah perlu menjelaskan dasar eksklusivitas ini,” kata Dzatmiati.
3. Presiden Prabowo Minta Standar Polri Jadi Acuan Nasional
Alih-alih mempertanyakan keistimewaan itu, pemerintah justru menjadikan dapur Polri sebagai model nasional. Presiden Prabowo Subianto bahkan memerintahkan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengadopsi standar dapur Polri ke seluruh Indonesia, setelah muncul kasus keracunan massal MBG yang menewaskan lebih dari 6.000 orang.
Kepala BGN Dadan Hindayana menilai dapur Polri memenuhi standar kebersihan yang baik karena sudah melakukan rapid test makanan sebelum dibagikan.
4. Celios Usul Bantuan Tunai Rp 50 Ribu per Anak untuk MBG
Lembaga riset ekonomi Celios menilai, skema tunai langsung ke penerima jauh lebih efisien dibanding sistem dapur MBG. Dari total anggaran Rp 71 triliun, jika disalurkan hanya kepada kelompok miskin dan rentan, setiap anak bisa mendapat jatah Rp 50 ribu per porsi.
“Kalau langsung masuk ke orang tua, uangnya bisa digunakan untuk kebutuhan gizi ibu dan anak,” kata peneliti Celios, Media Wahyudi Askar.
5. Penerima Manfaat Berkurang Hanya Rp 15 Ribu per Anak
Menurut Celios, sistem dapur MBG yang berjalan sekarang justru mengurangi manfaat bagi penerima. Setelah dipotong berbagai biaya operasional, jatah anak hanya tersisa sekitar Rp 15 ribu per porsi.
“Itu bukan berarti lebih baik daripada tidak sama sekali. Justru tidak efisien,” ujar Media.
Namun Kepala BGN Dadan Hindayana menolak ide MBG tunai, dengan alasan rentan penyalahgunaan dan sudah diwakili oleh program BLT.
Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini