INFO NASIONAL - Selama ini, kisah tentang keluarga di Indonesia hampir selalu menyoroti sosok ibu. Ibu dianggap sebagai pusat pengasuhan, tempat anak-anak berlindung, sekaligus sekolah pertama bagi putra-putrinya.
Sementara itu, ayah kerap dipandang hanya sebagai pencari nafkah. Padahal, peran ayah tidak kalah penting dalam membentuk kualitas keluarga yang sehat dan harmonis.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menekankan pentingnya keseimbangan peran dalam keluarga. Delapan fungsi keluarga—mulai dari fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, pendidikan, ekonomi, hingga pembinaan lingkungan—hanya bisa berjalan utuh jika semua anggota, termasuk ayah, terlibat aktif.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. UNICEF mencatat 1 dari 5 anak Indonesia tumbuh tanpa figur ayah.
Data BPS juga mengungkapkan hanya 37 persen anak usia 0–5 tahun yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya sekaligus. Fenomena fatherless ini membawa dampak serius: anak berisiko mengalami masalah akademis, kesulitan membangun hubungan sosial, hingga rentan pada kecanduan pornografi.
Sayangnya, banyak ayah masih terjebak dalam paradigma lama: tugas utama mereka hanya mencari nafkah. Faktor budaya juga berperan. Norma maskulinitas yang kuat membuat laki-laki merasa tabu untuk bercerita atau mencari bantuan.
Survei Kompas 2024 bahkan menyebut hampir 20 persen masyarakat masih menganggap pergi ke psikolog sebagai sesuatu yang memalukan. Tak heran, data dari Bilik Konsultasi Ayah menunjukkan hanya 25 persen klien adalah laki-laki.
Menjawab persoalan ini, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), dengan salah satu layanan utamanya yaitu Bilik Konsultasi Ayah. Layanan ini menjadi ruang aman bagi para ayah untuk berbagi pengalaman, mengungkapkan tantangan, sekaligus mendapatkan dukungan emosional.
Hadis, 45 tahun, seorang ayah dua anak di Jakarta, merasakan manfaat nyata dari layanan ini. “Alhamdulillah setelah berbagi cerita kepada konselor banyak hal baru yang saya dapat. Saran konselor saya coba aplikasikan dalam keluarga, dan ternyata benar menunjukkan perubahan pada sikap dan perilaku anak,” ujarnya.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, menegaskan: “Selama ini kita terlalu sering menyoroti ibu dalam peran pengasuhan, padahal ayah juga punya hak dan kewajiban yang sama untuk didukung. Bilik Konsultasi Ayah adalah ruang aman bagi ayah dan calon ayah untuk belajar, berbagi, dan menemukan kembali makna kehadirannya dalam keluarga.”
Bilik Konsultasi Ayah bukan sekadar layanan konseling, melainkan simbol perubahan budaya. Dari pandangan lama yang menempatkan pengasuhan hanya di pundak ibu, menuju kesadaran baru bahwa pengasuhan adalah kerja sama setara antara ayah dan ibu.
Kini saatnya kita merayakan ayah, bukan hanya di Hari Ayah Nasional, melainkan setiap hari. Karena di balik sosok yang jarang bercerita, ayah juga manusia yang butuh dirangkul dan didukung. Dengan keterlibatan penuh ayah, anak-anak akan tumbuh lebih bahagia, keluarga semakin kokoh, dan masa depan bangsa menjadi lebih cerah.(*)