
Sebagai peneliti di bidang gender, menganalisis tentang kekerasan seksual menjadi salah satu penelitian yang tidak pernah saya lewatkan. Pada bulan semester ganjil tahun ajaran 2024/2025, saya mendapatkan kesempatan untuk meneliti tentang pemahaman para remaja mengenai kekerasan seksual di dunia nyata dan dunia virtual. Tujuan dari penelitian ini tentunya untuk membuat saya mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya tentang pencegahan kekerasan seksual.
Kuesioner disebarkan melalui media sosial pada tanggal 6 Juni hingga 6 Juli 2025 dengan sampel siswi yang masih duduk di bangku sekolah. Selama satu bulan kuesioner tersebut disebarkan, terkumpul 492 kuesioner. Dari ratusan kuesioner tersebut, terseleksi 308 kuesioner yang menjawab bahwa mereka pernah berkomunikasi dengan orang-orang yang lebih tua daripada mereka di media sosial. Komunikasi tersebut berawal mula dari berkenalan, kemudian menjadi sangat akrab dan chat di direct messages tersebut berlangsung selama berhari-hari.
Dari 308 kuesioner tersebut, 187 di antaranya memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang lebih tua tersebut. Ketika diseleksi lebih mendalam lagi, terdapat 89 kesamaan pada remaja yang mengisi kuesioner, yaitu mereka menjalin hubungan pertemanan, persahabatan, bahkan hubungan layaknya individu yang berpacaran dengan lawan jenis tersebut. Selain pacaran, ara remaja menyebutnya dengan istilah hubungan tanpa statis (HTS), friend with benefit (FWB), maupun platonik relationship. Mereka memaknai hubungan mereka dengan istilah dan definisi masing-masing.
Setelah itu, kuesioner terakhir berisi, "Apakah Anda bersedia diwawancara lebih lanjut? Tentu saja identitas Anda akan dirahasiakan dan hanya diketahui oleh peneliti". Secara keseluruhan, terdapat 57 remaja yang bersedia untuk diwawancarai melalui telepon dan media Zoom. Maka, wawancara semi-terstruktur mulai saya lakukan pada bulan Agustus 2024.
Ketika melakukan tahap wawancara, saya menghadapi temuan yang membuat saya cukup kaget. Sebagian besar remaja yang bersedia untuk diwawancarai ternyata tidak mengetahui ciri-ciri dari kejahatan seksual bernama grooming. Bahkan, mereka pun tidak pernah tahu bahwa mereka telah menjadi korban dari kekerasan seksual di dunia virtual. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang di-grooming.
Mengapa saya dapat menyimpulkan demikian? Hal tersebut tersirat dari jawaban beberapa remaja yang mengisi kuesioner dan bersedia untuk diwawancarai. Mereka menceritakan tentang bagaimana awal mula berkenalan dengan individu yang lebih tua. Perkenalan tersebut diawali dengan saling balas membalas komentar di media sosial, kemudian berpindah ke direct messages. Di kotak masuk direct messages, keduanya saling balas membalas pesan setiap hari. Di situ pula terucap kata-kata yang disebut love bombing, yakni tindakan verbal dan non-verbal yang menunjukkan kasih sayang secara berlebihan.
Pada akhirnya, kata-kata berupa cinta dan romantis dari lawan jenis yang lebih dewasa tersebut merupakan 'air segar' yang membasuh jiwa para remaja. Mereka menganggap ucapan romantis tersebut bukan kejahatan seksual, melainkan hal yang wajar dilakukan ketika seseorang sedang jatuh cinta. Tak heran jika penelitian-penelitian psikologi menemukan bahwa hormon dopamin, oksitosin, dan vasopresin membanjiri otak remaja, sehingga mereka menunjukkan ketertarikan dan rasa suka yang sangat kuat kepada orang yang berinteraksi kepada mereka; termasuk interaksi di dunia virtual.
Terlebih lagi, ketika para remaja menciptakan bayang-bayang pria ideal yang disukai oleh mereka. Remaja yang jatuh cinta cenderung melihat sisi positif dari pria yang mereka cintai, sehingga mengabaikan sisi negatif dan berbahaya dari pria tersebut. Pada akhirnya, hal-hal seperti ini yang menciptakan ketergantungan dan rasa takut kehilangan yang dimiliki oleh para remaja tersebut.
Salah satu informan penelitian pun mengucapkan, "aku hanya ingin disayangi. Apakah aku salah?"
Kekerasan Seksual Itu Bernama Grooming

Grooming merupakan kejahatan seksual yang berlangsung di dalam dunia virtual. Ciri khas dari grooming adalah salah satu pihak berusia lebih tua dibandingkan pihak yang lainnya. Selanjutnya, pihak yang lebih tua dapat memanipulasi kata-kata sehingga menghadirkan pikiran positif untuk pihak yang lebih muda. Dengan membangun hubungan romantis bersama korban, pelaku dapat membentuk kepercayaan dengan korban secara bertahap, lantas menjadikan korban bergantung sepenuhnya pada pelaku.
Manipulasi dilakukan oleh pelaku melalui penawaran bantuan, pujian, perhatian khusus, atau janji-janji kepada korban. Dengan demikian, korban akan merasa bahwa ia memiliki nilai spesial di mata pelaku, sehingga korban akan memberikan apa pun yang diinginkan pelaku.
Para korban grooming -- yang sayangnya tidak menyadari bahwa mereka sudah menjadi korban -- mengatakan bahwa pelaku menginginkan hubungan mereka dirahasiakan. "Ya, pacar saya bilang kalau kita pacaran rahasia saja, pacaran diam-diam. Cukup aku dan dia saja yang merasakan bahagianya jatuh cinta itu," ungkap salah satu informan yang diwawancarai ketika penelitian berlangsung.
Apakah jawaban itu sudah cukup membuat kaget?
Ternyata belum.
Salah satu korban yang sudah jatuh cinta dan bergantung dengan pelaku grooming secara mendalam, mengatakan bahwa ia siap menjadi orang ketiga, atau bahkan istri kedua. Korban grooming --yang lagi-lagi tidak tahu bahwa dirinya sudah menjadi korban kekerasan seksual virtual-- sudah memiliki ketergantungan dengan pria tersebut. Pria yang telah dikenal melalui media sosial Twitter (X) selama satu tahun, pada akhirnya mengaku bahwa ia telah memiliki istri dan anak. Alih-alih melaporkan kepada orang dewasa, siswi yang duduk di kelas 10 SMA malah menawarkan dirinya untuk tetap melanjutkan hubungan 'romantis' tersebut, asalkan ia tidak ditinggalkan.
Apakah jawaban ini sudah merupakan yang terburuk di antara jawaban wawancara lainnya?
Ternyata ada juga remaja yang rela membagikan video tanpa busana kepada pelaku grooming tersebut. Bagi remaja yang telah melakukan hal tersebut, ia menilai bahwa berbagi video tanpa busana telah menjadi hal yang lumrah bagi lawan jenis yang saling jatuh cinta dan berpacaran. Ketika ditanya lebih dalam lagi, remaja tersebut menunjukkan kalimat yang menyiratkan bahwa ia sangat bergantung dan takut ditinggalkan oleh kekasihnya.
Grooming berbeda dengan kekerasan seksual yang benar-benar terlihat barang buktinya. Sebagai contoh, kejahatan seksual bernama pemerkosaan. Korban dapat divisum, sehingga pelaku dapat dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sementara itu, grooming tidak bisa divisum lebih lanjut. Beberapa korban pun masih membela pelaku kejahatan seksual tersebut, dengan dalih bahwa korban tidak pernah merasa diperlakukan jahat oleh laki-laki tersebut. Selama ini, bagi korban, kebutuhan cinta dan kasih sayang dapat dipenuhi oleh laki-laki itu.
Secara tak langsung, grooming merupakan kejahatan seksual yang berdiri di balik tembok bernama romantisme. Pelaku memanfaatkan ucapan-ucapan romantis, mengirim screenshot berupa quote romantis, mengirimkan video romantis, dan hal-hal romantis lainnya, seolah-olah menghadirkan dirinya sebagai perisai di depan remaja yang mengalami patah hati, mental yang tidak stabil, dan kondisi terpuruk. Kondisi remaja seperti itu akan membuat pelaku menjadi lebih mudah dalam memanipulasi pikiran korban, sehingga korban bersedia untuk melakukan hal-hal yang diinginkan oleh pelaku grooming.
Beberapa informan pun mengatakan, bahwa laki-laki dewasa tersebut sering membelikan mereka barang-barang yang mereka inginkan. Informan pun ingin untuk memberikan hal lain yang dapat membalas 'kebaikan' dari pria-pria dewasa tersebut. Tentu saja untuk membalasnya adalah dengan cara memberikan foto maupun video tanpa busana, dengan harapan bahwa laki-laki itu tidak akan meninggalkan dia dan tetap memberikan limpahan cinta.
Beberapa informan pun menyebutkan bahwa mereka mempercayai laki-laki tersebut karena mereka diberikan kata-kata, "video ini hanya aku aja yang simpan. Nggak akan aku sebarkan ke orang lain". Selain itu, pujian-pujian berupa keindahan tubuh dari remaja tersebut, membuat mereka semakin jatuh cinta dan ingin memberikan lebih kepada pelaku grooming tersebut.
Peran Orang Dewasa
Salah satu ramuan jitu untuk mengatasi masalah ini adalah peran orang dewasa. Tak sedikit remaja yang enggan menceritakan permasalahan tentang asmara mereka kepada kedua orang tua. Para remaja lebih suka menceritakan itu kepada teman, bahkan di media sosial. Yang lebih berbahaya lagi, cerita-cerita mereka di media sosial ini justru menarik perhatian para pelaku grooming selanjutnya untuk menunjukkan 'simpati' mereka kepada korban.
Orang dewasa baiknya memberikan respon yang tidak menghakimi para remaja tersebut. Rangkul para remaja, jadilah tempat bercerita yang nyaman, dan memberikan solusi penuh dengan kasih sayang. Dengan demikian, para remaja sudah menemukan kasih sayang yang cukup pada orang dewasa yang benar-benar peduli dengan dia, sehingga remaja dapat menjauhi pelaku grooming tersebut.
Setelah mendapatkan data-data di atas, saya t...