Lelakon Satu Suro di Sendang Senjoyo: Sepenggal Malam di Pintu Tanah Jawa

1 month ago 9
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Image Alfin Nur Ridwan

Kultura | 2025-06-27 19:13:00

Dokumentasi pribadi

Angin malam menyusup perlahan ke sela-sela pori kulit, menggamit tubuh dalam dingin yang tak hanya fisik, tapi juga mengandung getar-getir mistik. Udara basah, berat oleh aroma tanah, dupa, dan doa-doa yang terucap lirih di bibir mereka yang hendak menapak tilas. Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam ketika kami menapakkan kaki di kawasan Sendang Senjoyo. Malam satu suro telah membuka tirainya, dan tempat ini–yang di malam biasa hanya dihuni suara gemericik air dan desah dedaunan–berubah menjadi pusat kehidupan yang aneh dan menakjubkan. Riuh, namun juga hening. Sibuk, namun terasa sunyi dalam relung jiwa.

Aku bersama seorang kawanku. Langkah kami tak tergesa, sekilas nampak seperti ziarah batin daripada sekadar perjalanan. Sudah lama kami menantikan malam ini–malam satu suro di Sendang Senjoyo yang tahun ini bertepatan dengan malam Jumat Kliwon. Sebuah pertemuan tanggal yang membawa beban spiritual tersendiri. Dan meskipun “wetonku”, Minggu Pahing, mengandung pantangan untuk tidak keluar rumah pada malam seperti ini, kaki ini tetap melangkah. Entah karena rasa ingin tahu, entah karena panggilan yang lebih tua dari ketakutan.

Sendang Senjoyo malam tadi menyambut kami seperti kawan lama. Cahaya temaram dari lampu-lampu tenda pedagang memantul di permukaan air sendang yang hitam pekat seperti mata langit jika tanpa secercah cahaya malam itu. Warung-warung dadakan berjajar rapi, menghidangkan mi instan, kopi hitam, gorengan jembak yang mendesis di wajan kecil, serta berbagai dupa untuk mereka yang hendak melakukan ritual. Suara-suara tawa, obrolan, doa, dan langkah kaki bercampur menjadi orkestra yang ganjil. Dalam keramaian ini, ada kesunyian yang mengintai di setiap sudut, menunggu untuk didengar.

Perlu diketahui, bahwa malam satu suro bagi masyarakat Jawa bukanlah malam biasa. Bagi mereka, ini adalah malam transisi, malam sakral di mana tabir antara dunia kasat mata dan yang gaib terasa menipis. Dan kungkum–berendam di sendang dengan tubuh dan hati yang pasrah–adalah salah satu cara untuk menyambutnya. Sebuah ritual penyucian diri yang tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga membasuh jiwa dari segala kekotoran dan beban yang telah menumpuk selama ini.

Di tepi sendang, bayangan tubuh-tubuh yang berendam seperti siluet doa yang terbenam. Beberapa tampak diam, mata terpejam, tangan terkatup atau terbuka, menggenggam sehelai harap. Yang lain bergerak pelan, seperti mengikuti tarian air yang mengalirkan rasa. Suara air yang berkecipak kadang diiringi teriakan lirih, atau gumaman doa yang tak sepenuhnya dapat kupahami. Tapi yang jelas, semua yang datang membawa sesuatu–entah itu niat, luka, atau sekadar pertanyaan.

Aku dan kawanku tidak ikut berendam. Hanya mengamati. Tapi rasanya seolah aku juga turut larut di tengah-tengah mereka, di antara harapan-harapan yang dihanyutkan ke dalam sendang malam itu. Kawan di sebelahku sesekali menyalakan flash kamera gadgetnya. Aku tahu, ia juga sedang menelisik: bukan hanya yang kasat, tapi juga yang tak terucap.

Di sisi lain sendang, beberapa orang ramai-ramai mengelilingi seorang lanjut usia yang duduk sila di sudut sendang. Permainan othok tengah berlangsung–sebuah bentuk perjudian yang biasanya hanya muncul di malam-malam istimewa seperti ini. Bunyi dadu dilempar, sorak-sorai rendah bergema, dan mata-mata tajam mengamati nasib yang tergulung dalam bilah kecil kayu. Ironis, mungkin. Di tempat yang dianggap suci, di momen yang penuh makna, judi berlangsung tanpa malu. Tapi mungkin itulah kenyataan paling jujur dari manusia: di tengah kesucian, selalu ada sisi kelam yang mengiringi dan tak bisa dihindari.

Dokumentasi pribadi

Sesekali aku menoleh, mengamati pedagang yang sibuk melayani pelanggan. Wajah mereka tak menunjukkan lelah. Justru ada semacam semangat dalam gerak mereka, seolah malam ini bukan beban, tapi berkah. Dan memang bagi mereka, malam satu suro adalah rezeki yang datang dalam bentuk tak terduga. Mereka telah membuka warung dari siang, menanti malam tiba. Mereka tahu, di antara keramaian ini, ada uang yang bisa dikantongi. Tapi lebih dari itu, ada keterikatan batin, tradisi, dan rasa percaya bahwa malam ini layak untuk dirayakan, meski dengan cara mereka sendiri.

Waktu berjalan perlahan tapi pasti, dua jarum jam di tangan sudah menunjukkan di angka yang sama: 12. Tapi keramaian justru semakin menjadi-jadi. Seorang laki-laki paruh baya dengan berpenampilan layaknya seorang ustad yang disegani oleh warganya datang dengan rombongan orang-orang di belakangnya. Mereka berhenti sejenak, berdoa bersama, lalu sang laki-laki itu menyuruh rombongannya dari kalangan laki-laki untuk memasuki sendang terlebih dahulu.

Dalam air mereka diam, lalu menenggelamkan kepala, muncul kembali, dan diakhiri dengan pembacaan doa-doa yang tak asing bagiku–doa keluar rumah dan zikir pagi petang–serta sebuah lagu “Lir Ilir” yang mereka ulangi sampai laki-laki paruh baya itu meminta mereka untuk beranjak dari air.

Aku terus mencatat dalam benakku, potret demi potret yang tak akan kutemui di hari-hari biasa. Di sini, di malam ini, segala batas menjadi kabur: antara yang sakral dan profan, antara tradisi dan hiburan, antara spiritualitas dan ekonomi. Sendang Senjoyo menjadi cermin besar yang memantulkan wajah masyarakat dalam bentuknya yang paling jujur. Dan aku, hanya pengamat yang menumpang kagum.

Menjelang jam tiga dini hari, langit mulai berubah. Gelap tidak lagi kelam, melainkan keabu-abuan, tanda bahwa fajar tak lama lagi datang. Orang-orang mulai berbenah, sebagian beranjak dari air sendang, tubuh mereka menggigil namun mata mereka tenang. Beberapa pedagang mulai mengepak dagangan, sementara yang lain tetap setia menunggu pelanggan terakhir.

Dupa kecil masih menyala, menyisakan aroma yang hangat di antara hawa dingin. Aku duduk di batu besar tak jauh dari sendang, memandangi permukaannya yang kembali tenang. Air itu kini menyimpan seribu rahasia: doa yang dibisikkan, luka yang dilepaskan, harap yang disematkan. Di malam ini, tempat seperti Sendang Senjoyo tak ubahnya candi sunyi, tempat manusia datang untuk berserah pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Malam satu suro telah menjadi saksi. Bukan hanya tentang kungkum dan ritual, tapi tentang bagaimana manusia masih mencari makna, mencari ketenangan, mencari penebusan. Dan meski–walaupun aku tak begitu percaya dan mengindahkan–aku melanggar pantangan wetonku untuk keluar rumah pada malam itu, entah mengapa tak ada rasa sesal. Yang ada justru rasa syukur, karena telah menjadi bagian kecil dari malam yang abadi ini. Sebuah malam di mana waktu terasa beku, dan hidup terasa utuh kembali.

Dokumentasi pribadi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article