
Penasihat hukum eks Ketua DPR Setya Novanto, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa kliennya mestinya divonis bebas dalam Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus korupsi e-KTP.
Adapun dalam putusan PK, Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman pidana penjara terhadap Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12,5 tahun.
"Menurut hemat saya, itu tidak cukup, seharusnya bebas," kata Maqdir kepada wartawan, Rabu (2/7).
Menurut Maqdir, kliennya itu tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor sebagaimana dakwaan. Sebab, kata dia, Setnov tidak memiliki kewenangan dalam pengadaan e-KTP tersebut.
"Pak Novanto itu, menurut hemat kami tidak bisa dihukum dengan Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3. Dia tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan e-KTP," ucap dia.
"Dia bukan anggota Komisi II DPR RI, sehingga dia tidak mempunyai kewenangan terkait dengan pengadaan e-KTP," jelasnya.
Maqdir menilai, pasal dakwaan yang dijerat ke kliennya salah. Mestinya, lanjut dia, dakwaan yang paling tepat untuk kliennya adalah pasal suap.
"Dia dianggap terbukti menerima uang, tapi karena tidak ada jabatan terkait pengadaan, maka seharusnya dia terima uang sebagai gratifikasi atau suap," terang Maqdir.
Adapun putusan PK itu diketok pada 4 Juni 2025 lalu oleh Hakim Agung Surya Jaya sebagai Ketua Majelis PK, serta Hakim Agung Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono selaku anggota majelis.
"Kabul. Terbukti Pasal 3 juncto Pasal 18 UU PTPK juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 bulan," demikian petikan putusan perkara nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, dilihat di situs resmi MA, Rabu (2/7).
Dalam putusan itu, Novanto juga dihukum pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti (UP) sebesar USD 7,3 juta. Uang pengganti itu dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkannya ke penyidik KPK.
"Sisa UP Rp 49.052.289.803 subsider 2 tahun penjara," bunyi putusan itu.
Tak hanya itu, Setnov juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun setelah masa pidana selesai.
Dalam kasus itu, Setnov sebelumnya divonis 15 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Ia juga dihukum membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ia dinilai menerima keuntungan sebesar USD 7,3 juta serta jam tangan Richard Mille RM011 seharga USD 135 ribu dari proyek yang merugikan negara Rp 2,6 triliun itu.
Setnov juga dihukum harus membayar uang pengganti sebesar yang diterimanya yakni USD 7,3 juta. Apabila uang pengganti itu tak dibayar, maka harta benda Setnov akan disita dan dilelang. Namun bila tidak mencukupi, maka akan diganti pidana penjara selama 2 tahun.
Pihaknya tak mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketok pada Selasa (24/4/2018) silam.
Akan tetapi, setelah menjalani setahun hukuman, Setnov mengajukan PK. Kini, hukumannya pun 'disunat' menjadi 12,5 tahun penjara.