PEMERINTAH dan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah. Total terdapat 768 poin DIM yang telah diserahkan pemerintah pada 18 Agustus 2025 lalu.
Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan hasil pembahasan RUU Penyelenggara Haji dan Umrah tidak ada catatan. Baik dari fraksi partai maupun pemerintah. Hal ini juga dibenarkan Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Komisi VIII DPR akan membawa hasil pembahasan RUU Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah itu ke rapat paripurna besok, Selasa, 26 Agustus 2025. Berikut poin-poin perubahan dalam RUU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah:
Usia Minimal Jemaah Haji Turun Jadi 13 Tahun
Salah satu poin penting dalam revisi UU Haji adalah perubahan aturan usia minimal keberangkatan calon jemaah haji. Jika sebelumnya batas usia ditetapkan 18 tahun, maka hasil rapat menyepakati anak berusia 13 tahun sudah diperbolehkan berangkat haji. Keputusan ini menjadi sorotan lantaran dianggap lebih longgar lima tahun dibandingkan aturan sebelumnya. “Artinya (usia) diubah,” kata Bambang.
Petugas Embarkasi Bisa Non-Muslim
Kesepakatan lain yang cukup kontroversial adalah diperbolehkannya petugas haji dari kalangan non-muslim, khusus untuk penempatan di embarkasi. Kebijakan ini dinilai penting demi memperluas dukungan teknis pada tahap keberangkatan, meski akan tetap menuai perdebatan di publik.
BP Haji Resmi Jadi Kementerian
Poin krusial lainnya adalah perubahan status Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Dengan perubahan nomenklatur ini, Kepala BP Haji akan naik status menjadi menteri.
Marwan Dasopang menegaskan, keputusan ini sudah sesuai dengan aspirasi DPR yang sejak lama mendorong agar pengelolaan haji dilakukan oleh kementerian tersendiri. “Bunyi DIM pemerintah sudah kementerian. Dan kita senang saja kan memang usulan kita. Kami sudah mendesak Presiden sebetulnya dijadikan kementerian,” ujarnya pada Jumat.
Wakil Kepala BP Haji Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan, gagasan ini merupakan bagian dari visi Presiden Prabowo Subianto sejak pencalonannya pada Pilpres 2014. “Ini bukan reaksi dari kasus 2024 atau tahun-tahun sebelumnya. Sejak awal, pembentukan kementerian ini adalah bagian dari perbaikan tata kelola haji yang menjadi komitmen Pak Prabowo,” katanya pada Sabtu, yang dikutip Antara.
Tumpang Tindih dengan Kementerian Agama
Meski demikian, DPR mengingatkan agar nomenklatur baru tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Agama (Kemenag). Urusan ibadah haji akan dipisahkan dari ranah umum keagamaan, sementara Kemenag tetap memegang fungsi keagamaan lainnya.
Ultimatum Arab Saudi Soal Area Arafah
Di sisi lain, DPR juga mengungkap adanya ultimatum dari Pemerintah Arab Saudi terkait area Arafah yang selama ini digunakan Indonesia. Jika hingga 23 Agustus 2025 tidak ada kepastian, area tersebut bisa dialihkan ke negara lain.
Untuk mengantisipasi hal itu, DPR dan pemerintah menyetujui penggunaan dana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) guna memblok area tersebut. “Maka kemarin kami sudah mengadakan raker persetujuan untuk memakai uang muka dari BPKH,” kata Marwan.
Dian Rahma Fika, Sapto Yunus, dan Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Empat Celah Korupsi di Sektor Pelayanan Publik