
Indeks utama saham Amerika Serikat atau Wall Street ditutup bervariasi pada perdagangan Selasa (22/7) waktu setempat. S&P 500 berhasil mencetak rekor penutupan tertinggi, meski tekanan masih terasa akibat jatuhnya saham General Motors dan pelemahan sejumlah saham Big Tech.
Mengutip Reuters, indeks S&P 500 naik tipis 0,06 persen dan menutup sesi di level 6.309,62. Sementara itu, Nasdaq terkoreksi 0,39 persen ke posisi 20.892,69, dan Dow Jones melonjak 0,40 persen menjadi 44.502,44 poin.
Saham General Motors (GM.N) anjlok tajam 8,1 persen setelah perusahaan membukukan kerugian sebesar USD 1 miliar akibat tarif impor yang berlaku. Ini mempertegas kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan perdagangan global pemerintahan Presiden Donald Trump. Saham Ford juga ikut melemah sekitar 1 persen.
Sementara itu, saham Tesla (TSLA.O) menguat 1,1 persen menjelang rilis laporan keuangan kuartalan. Alphabet (GOOGL.O), induk Google, turut naik 0,65 persen karena akan melaporkan kinerjanya keesokan harinya.
Optimisme terhadap investasi besar-besaran di sektor kecerdasan buatan (AI) masih jadi bahan bakar reli di Wall Street. S&P 500 pun terus bertahan di dekat rekor tertingginya.
"Pasar sedang mengkonsolidasikan keuntungan baru-baru ini dan berada dalam pola bertahan dengan beberapa katalis besar selama satu atau dua minggu ke depan, termasuk batas waktu tarif 1 Agustus dan banyak pendapatan penting Magnificent Seven," kata Ross Mayfield, Analis Strategi Investasi di Baird.
Namun, saham Big Tech lainnya justru tertekan. Meta Platforms dan Microsoft, masing-masing turun sekitar 1 persen.
Saham RTX (RTX.N) juga terkoreksi 1,6 persen akibat kekhawatiran terhadap dampak perang dagang, walau permintaan untuk mesin dan layanan purnajualnya masih kuat.
Sementara Lockheed Martin (LMT.N) merosot hampir 11 persen setelah laporan kuartalannya menunjukkan laba turun hingga 80 persen.
Ketidakpastian soal kebijakan dagang AS masih membayangi pasar. Deadline 1 Agustus yang ditetapkan Trump semakin dekat, dan banyak negara belum mencapai kesepakatan dengan Gedung Putih.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut akan bertemu dengan mitranya dari China pekan depan, untuk membahas kemungkinan perpanjangan tenggat waktu tarif impor dari China yang jatuh pada 12 Agustus.
Namun, peluang tercapainya terobosan dagang lainnya terlihat menipis. Optimisme kesepakatan dengan India mulai meredup, sementara Uni Eropa mulai mempertimbangkan langkah balasan terhadap kebijakan AS.
Di tengah sentimen itu, sembilan dari 11 sektor dalam S&P 500 ditutup di zona hijau. Sektor kesehatan (.SPXHC) memimpin dengan kenaikan 1,9 persen, disusul sektor properti (.SPLRCR) yang naik 1,78 persen.
Volume perdagangan pun terbilang besar. Tercatat 18,8 miliar saham berpindah tangan di bursa AS, melampaui rata-rata 17,7 miliar saham dalam 20 sesi sebelumnya.
Di sisi lain, saham Philip Morris (PM.N) terpuruk 8,43 persen usai pendapatan kuartal keduanya tak memenuhi ekspektasi pasar. Penjualan kantong nikotin ZYN jadi sorotan investor.
Secara keseluruhan, analis memperkirakan perusahaan dalam indeks S&P 500 akan membukukan pertumbuhan laba sebesar 7 persen pada kuartal kedua. Sebagian besar pertumbuhan ini ditopang oleh perusahaan teknologi papan atas, menurut data LSEG I/B/E/S.
Setelah data ekonomi AS yang campur aduk pekan lalu, pelaku pasar kini hampir menyingkirkan harapan akan pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada pertemuan mendatang. Namun, berdasarkan CME FedWatch, peluang penurunan suku bunga pada September masih berada di kisaran 60 persen.
Jumlah saham yang menguat di indeks S&P 500 melampaui yang turun dengan rasio 4,3 banding 1. Tercatat, indeks ini membukukan 21 titik tertinggi baru dan hanya satu titik terendah. Sedangkan Nasdaq mencetak 73 titik tertinggi baru dan 41 titik terendah.