KOORDINATOR Indonesia Zakat Watch (IZW) Barman Wahidatan Anajar menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi Undang-Undang Zakat akan menjadi momentum penataan ulang tata kelola zakat nasional. “Putusan MK akan menjawab: apakah zakat tetap berada dalam sistem yang sentralistik dan minim partisipasi, atau dibuka menuju tata kelola yang adil, transparan, serta partisipatif,” kata Barman pada Rabu 27 Agustus 2025.
MK akan membacakan putusan judicial review atau uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada Kamis besok, 28 Agustus 2025. Uji materi ini diajukan oleh dua pemohon. Pertama, Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan Muhammad Jazir dengan perkara Nomor 54/PUU-XXIII/2025 bersama Indonesia Zakat Watch. Kemudian, perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Forum Zakat, Dompet Dhuafa, serta Arif Rahmadi Haryono.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Barman,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sejak disahkan menimbulkan persoalan. Regulasi ini menempatkan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) sebagai lembaga dominan dengan kewenangan regulasi, koordinasi, hingga pengawasan. Adapun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang lahir dari masyarakat sipil justru diposisikan subordinat dan bergantung penuh pada rekomendasi maupun regulasi Baznas.
Barman menyebutkan, sejumlah aturan turunan, seperti Perbaznas Nomor 1 Tahun 2018, Nomor 3 Tahun 2018, dan Nomor 3 Tahun 2019, menunjukkan kuatnya peran Baznas. Bahkan, ranah yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah malah diwakili Kementerian Agama. “Model ini menutup ruang partisipasi publik, membatasi inovasi, dan berpotensi menciptakan monopoli kelembagaan,” ucap Barman.
Padahal, kata Barman, zakat adalah ibadah sosial yang secara historis tumbuh dari, oleh, dan untuk umat. Ketika pengelolaan terlalu terpusat, risiko penyalahgunaan meningkat. Ia berpendapat, kasus penyalahgunaan zakat dan hibah di beberapa daerah menjadi bukti lemahnya sistem pengawasan.“Judicial review ini hadir untuk meluruskan arah kebijakan agar zakat kembali ke prinsip partisipasi dan akuntabilitas,” ujarnya.
Barman menegaskan, judicial review terhadap Undang-Undang Zakat bukan upaya melemahkan negara, melainkan penguatan amanat konstitusi. Sebab, Pasal 28E Undang-Undang 1945 menjamin kebebasan beragama dan berserikat. Adapum Pasal 29 menjamin kemerdekaan beribadah.
Permohonan uji materi ini, kata Barman, bukan untuk menghapus peran pemerintah dalam tata kelola zakat, tetapi mendorong pemisahan peran. Menurut dia, pemerintah seharusnya menjalankan fungsi regulasi, sementara lembaga masyarakat diberi ruang beroperasi secara independen. “Usulannya adalah mendorong agar regulator dikembalikan sepenuhnya ke Kementerian Agama, bukan Baznas,” katanya.
Judicial review ini, kata Barman, sejalan dengan agenda pembangunan pemerintah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025. Perpres ini menekankan perlunya reformasi tata kelola dana sosial-keagamaan, termasuk zakat, agar lebih akuntabel, transparan, dan partisipatif.
Selain itu, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 juga menegaskan mandat kepada Kementerian Agama untuk mengoptimalkan penghimpunan dan pendistribusian zakat. Inpres ini ingin memastikan zakat mendukung pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan. “Artinya, perjuangan JR ini justru sejalan dengan visi pemerintah,” kata Barman.
Barman mengatakan putusan MK atas uji materi UU Zakat akan membenahi pengelolaan dana umat. Lewat putusan MK nanti, ia berharap berharap zakat tidak lagi dikuasai segelintir institusi, tetapi dikembalikan sebagai hak umat.“Kini, bola ada di tangan MK,” katanya.
Kedua pemohon menguji konstitusionalitas dari Pasal 1 angka 7, angka 8 dan angka 9, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 24, Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 dan Pasal 31 UU Pengelolaan Zakat.
“Pemohon menilai peran ganda Baznas sebagai pengumpul zakat dan pemberi rekomendasi pendirian LAZ merupakan penyalahgunaan kewenangan karena berpotensi menghambat pendirian LAZ yang dianggap sebagai pesaing,” menurut keterangan resmi MK, dikutip pada 12 Mei 2025.
Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan Muhammad Jazir menilai, negara tidak seharusnya menjalankan fungsi ibadah agama tertentu. Sebab, Indonesia bukan negara Islam, melainkan negara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.