
LEBIH dari seabad setelah diterbitkan, Deklarasi Balfour masih menjadi bahan perdebatan di tengah konflik panjang Israel dan Palestina. Namun kini, suara berbeda datang dari Lord Roderick Balfour yang merupakan keturunan langsung Arthur Balfour, mantan Menteri Luar Negeri Inggris yang menandatangani deklarasi tersebut pada 1917.
Dalam wawancara dengan Al Arabiya English, Roderick menegaskan isi deklarasi tersebut tidak pernah menjanjikan pembentukan Negara Israel. Menurutnya, dokumen itu hanya menyatakan simpati terhadap ide pendirian tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, bukan dukungan terhadap berdirinya negara baru.
"Saya selalu membawa salinan aslinya agar tidak salah menafsirkan," ujar Roderick Balfour.
"Tidak ada kalimat yang mengatakan kami akan mendukung pembentukan Negara Israel. Itu hanyalah pernyataan simpati, tidak lebih. Sisanya hanyalah harapan," imbuhnya.
Menurut dia, terdapat bagian penting dalam deklarasi yang sering dilupakan bahkan membuatnya kerap menuai kritik dari sebagian pihak di Israel. Kalimat itu pada intinya menyatakan tidak boleh mengurangi hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina.
Pesan moral itulah, imbuh Roderick, yang seharusnya menjadi pegangan, bukan sekadar soal legitimasi politik. "Apa yang terjadi hari ini jelas bukan sesuatu yang diinginkan oleh Arthur Balfour atau pemerintah Inggris di masa itu," tegasnya.
Meski membawa nama keluarga besar yang melegenda, Roderick mengaku Deklarasi Balfour sama sekali tidak menjadi topik penting di rumahnya saat tumbuh besar. Deklarasi itu, kata dia, hanya tergantung di belakang pintu kamar mandi di rumahnya.
Dia mengaku baru benar-benar memahami arti dokumen tersebut pada masa Perang Enam Hari 1967 ketika bekerja di Paris. Kala itu, suasana di ibu kota Prancis sangat mendukung Israel.
Seluruh area Champs Elysees, kata dia, penuh dengan poster dan bendera dukungan untuk Israel. Namun, sekarang suasananya sudah jauh berbeda.
"Saya kira, dalam konteks aslinya, kami merasa bangga. Tapi kami juga memandang Arthur Balfour melakukan itu sebagai tugasnya sebagai menteri luar megeri," ujarnya.
Menanggapi kritik deklarasi itu berpihak pada bangsa Yahudi dan mengabaikan rakyat Palestina, Roderick menjelaskan konteks sejarah pada masa dokumen itu dibuat. Menurutnya, pada 1917 penduduk Palestina tidak dianggap berada dalam kondisi tertekan atau teraniaya.
"Pada saat itu, orang-orang Palestina hidup damai. Sebagian besar menggantungkan hidup pada pertanian dan peternakan. Tidak ada kesan bahwa mereka sedang dikejar atau menderita," ujarnya.
"Karena itu, pemerintah Inggris mungkin berpikir, jika beberapa orang Yahudi ingin tinggal di sana secara damai, tidak akan menjadi masalah," imbuhnya.
Namun, ia menegaskan situasi saat ini telah jauh berubah. Kekerasan, penderitaan, dan pengusiran yang dialami rakyat Palestina tidak sesuai dengan niat awal yang terkandung dalam deklarasi tersebut.
"Apa yang terjadi hari ini jelas bukan sesuatu yang diharapkan oleh (Arthur Balfour) maupun pemerintah Inggris pada masa itu," tambahnya.
Pernyataan Roderick membuka ruang pemahaman baru atas salah satu dokumen paling berpengaruh dalam sejarah konflik Israel dan Palestina. Ia menegaskan deklarasi sejatinya bukan mandat politik untuk mendirikan negara melainkan ungkapan empati pada masa saat dunia tengah bergolak.
Kini, Inggris sudah mengakui Palestina. Roderick menilai keputusan itu sebagai langkah kecil yang bermakna.
"Itu menunjukkan bahwa kami mendukung solusi dua negara. Namun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum hal itu benar-benar berarti," tukasnya. (I-2)