
SEKTOR energi di Indonesia memiliki sejumlah tugas berat yang wajib dikejar. Dua di antaranya ialah kemandirian energi nasional dan target nol emisi atau Net Zero Emission (NZE) yang harus terlaksana pada 2060.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi melihat upaya menuju kemandirian energi nasional dan penggunaan energi hijau masih terkendala. Salah satunya, banyaknya peraturan yang bertumpuk yang mengatur sektor keenergian.
"Undang-undang yang mengatur keenergian sudah sangat banyak dan over regulasi. Sudah terlalu banyak, bahkan sampai ke tingkat desa," ungkapnya, dalam diskusi : Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional? yang digelar Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Bandung, Jumat (10/10).
Banyaknya aturan, lanjut dia, justru membuat masyarakat Indonesia tercekik. Untuk itu dibutuhkan upaya untuk membereskan peraturan, terutama aturan yang receh, karena aturan ini yang paling banyak membebani rakyat.
Yogi mengusulkan adanya UU payung atau omnibus law di sektor keenergian. UU payung dibutuhkan karena banyaknya UU terkait energi yang ternyata justru kontraproduktif.
"Saya berharap UU payung ini bisa secepatnya dibuat di Indonesia. Seperti UU Omnibus Law yang mengatur soal ketenagakerjaan yang bisa berlangsung cepat, yang membuat dunia juga keheranan," tambahnya.
Dia berharap UU payung keenergian tidak menjalankan kebiasaan lama. "Pembuatan UU di Indonesia itu biasanya berlangsung dan membutuhkan waktu yang lama, jika menyangkut oligarki. Sementara aturan untuk menekan rakyat dan kesejahteraan rakyat bisa terlaksana dengan cepat," tandasnya.
Optimistis
Sementara itu, pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung Prof Tri Yuswidjajanto Zaenuri optimistis kemandirian energi nasional bukan hal yang tidak mungkin bisa terlaksana di Indonesia.
"Kita punya banyak potensi menuju ke sana. Indonesia memiliki banyak sumber energi baru terbarukan dan energi berbahan baku nabati," jelasnya.
Saat ini, lanjut dia, pemerintah sudah menerapkan penggunaan etanol hingga 10% pada bahan bakar. Etanol merupakan pengganti BBM yang dibuat dari nabati, seperti jagung, tebu dan singkong. Etanol ramah lingkungan karena merupakan karbon netral dan tidak menambah emisi CO2.
"Secara logika, kebaikan etanol bisa dijelaskan. Namun, saat ini, masyarakat gampang termakan isu media sosial yang menyatakan etanol berbahaya untuk mesin kendaraan," tambah Prof Yus, panggilan akrabnya.
Dari sisi penggunaan BBM, seperti bensin dan disel, dari hari ke hari, porsi sumber energi berbahan fosil terus dikurangi. Untuk BBM disel, saat ini sudah 40% dicampur bahan nabati dan tahun depan mencapai 50%.
Sementara bensin menuju 10% dengan campuran etanol.
"Suatu saat, pelan-pelan, kebutuhan BBM dari fosil akan semakin sedikit. Yang lainnya dipasok produk ramah lingkungan dari dalam negeri," tandasnya.
Ke depan, pabrik etanol harus dibangun lebih banyak di banyak daerah, depo dibangun, sehingga transportsi bisa lebih murah. Sekaligus bisa ikut melestarikan lingkungan.
Indonesia, lanjut Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB ini, ke depan akan menggantikan PLTU dengan memanfaatkan energi biomassa dan gas alam.
"PLTD di pulau-pulau kecil bisa digantikan dengan pembangkit listrik tenaga surya dan kincir angin. Gelombang laut juga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik," paparnya.
Prof Yus optimistis jika pemerintah konsisten dan berkomitmen dengan program, biaya disediakan, tidak dikorupsi dan semua dibenahi, upaya menuju kemandirian energi nasional bisa dilakukan. Begitu juga dengan upaya merealisasikan nol emisi sangat bisa terwujud.
"Tidak hanya pemerintah tentu saja. Semua penduduk, kita semua juga harus mau dan ikut berkontribusi," tegasnya.
Dari dulu
Di sisi lain, pakar ekonomi Prof Ima Amaliah dari Universitas Islam Bandung juga sepakat program swasembada energi sudah seharusnya dijalankan sejak lama. Bahkan sejak masa kejayaan minyak Indonesia di era 1980-an.
Saat itu, hasil dari sektor migas seharusnya dimanfaatkan untuk membangun fondasi energi nasional yang mandiri.
Namun, dia juga mendukung upaya pemerintah saat ini. "Program swasembada energi adalah langkah yang tepat dan sudah seharusnya menjadi agenda nasional lintas pemerintahan."
Prof Ima sepakat langkah pemerintah dalam bidang energi sudah berada di jalan yang benar. Pasalnya, dunia menghadapi tantangan perubahan iklim.
Indonesia juga sepakat meratifikasi Paris Agreement dengan menargetkan nol emisi pada 2060. Karena itu, transformasi menuju energi bersih merupakan bagian dari kewajiban global.