Sepak Terjang AS-Israel terkait Irak, Suriah, Libia, dan Iran

11 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Sepak Terjang AS-Israel terkait Irak, Suriah, Libia, dan Iran Ilustrasi.(Freepik)

PADA Desember 2002, edisi khusus bertajuk Behind the Invasion of Iraq diterbitkan oleh Monthly Review Press. Penerbitan itu beberapa bulan sebelum invasi AS ke Irak benar-benar terjadi pada Maret 2003. 

Saat itu, arah kebijakan Washington sudah tampak jelas. Perang hanyalah soal waktu. Publikasi tersebut mendapat perhatian luas di tengah gelombang protes global menentang invasi. Kini, dua dekade kemudian, banyak pandangan yang justru kabur tentang yang sebenarnya terjadi dan proses panjang ini membentuk kawasan Timur Tengah.

Hanya dalam enam bulan masa jabatan pertamanya, Presiden Donald Trump melancarkan serangan militer langsung terhadap Yaman dan Iran, meski sebelumnya ia berjanji akan mengakhiri keterlibatan militer AS di luar negeri. Banyak pendukungnya terkejut, sementara para analis menilai bahwa Trump mengikuti arahan Netanyahu alih-alih memprioritaskan kepentingan nasional AS.

Meski Trump sempat mengumumkan gencatan senjata pada Juni dan mengungkapkan kekesalan terhadap Israel, pernyataannya diragukan. Ia kerap menggunakan strategi komunikasi menipu untuk menenangkan lawan politiknya. Bahkan saat mengeklaim bernegosiasi dengan Iran, Trump tetap memberi izin kepada Israel untuk melancarkan serangan udara.

Agresi terhadap Iran menjadi bagian dari kebijakan imperialisme AS yang berlangsung lebih dari dua dekade. Baik di bawah pemerintahan Bush, Obama, Biden maupun Trump, arah kebijakan militer AS tetap sama, ialah mengendalikan kawasan demi kepentingan strategis Washington, bukan Tel Aviv.

Amnesia Politik dan Dalih Perang

Media Barat selama ini menggambarkan konflik dengan Iran sebagai upaya mencegah pengembangan senjata nuklir. Namun, narasi tersebut menutup fakta bahwa AS telah merekayasa konflik di Irak, Suriah, dan Libia dengan alasan yang berbeda, seperti senjata pemusnah massal, hak asasi manusia, hingga perang melawan teror. Dalih serupa kini digunakan terhadap Iran.

Jika tujuan utama AS benar-benar mencegah pengayaan nuklir, Kesepakatan Nuklir 2015 (JCPOA) seharusnya tetap dijalankan. Namun, pemerintahan Trump pada 2018 menarik diri secara sepihak dan pemerintahan Biden tak berusaha memulihkannya. Saat ini, kebijakan yang sama diteruskan oleh Trump dalam masa jabatan keduanya. Hal ini menunjukkan kontinuitas strategi perang AS.

Dari 2002 hingga Kini

Pada awal 2000-an, Timur Tengah masih dipimpin oleh figur-figur yang menolak tunduk pada hegemoni AS, seperti Muammar Qaddafi di Libia, Bashar al-Assad di Suriah, Saddam Hussein di Irak, serta pemerintahan Iran yang bangkit pascaperang. 

Hizbullah di Libanon memiliki kekuatan besar setelah membebaskan wilayah selatan negaranya dari pendudukan Israel. Sementara itu, Intifada Kedua masih berkobar di Palestina.

Untuk mengembalikan kendali atas wilayah tersebut, Washington mendorong strategi pecah-belah sektarian, menumbangkan rezim yang menolak kerja sama, dan melemahkan gerakan perlawanan rakyat. Invasi ke Irak pada 2003 menjadi langkah pertama dalam proyek besar ini.

Dua dekade kemudian, hasilnya terlihat jelas, Irak kehilangan kedaulatan, Libia terjerumus ke dalam kekacauan, Suriah hancur akibat perang proksi, dan Libanon berada di bawah tekanan besar. 

Di Gaza, Israel melancarkan genosida terbuka, sementara sebagian negara Arab menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv meski mendapat penolakan luas dari rakyatnya.

Selama lebih dari 20 tahun agresi dan intervensi militer, kebijakan AS dan sekutunya meninggalkan jejak kehancuran dan penderitaan mendalam di seluruh kawasan Timur Tengah. Kini, pembahasan tentang serangan terhadap Iran tanpa melihat konteks sejarah panjang ini hanyalah bagian dari upaya propaganda untuk menutupi akar imperialisme yang sesungguhnya.

Kebangkitan kembali Strategi Imperialisme AS

Buku Behind the Invasion of Iraq menggambarkan bagaimana imperialisme Amerika Serikat (AS) pada awal abad ke-21 tampak perkasa secara militer, tetapi secara ekonomi justru tengah mengalami kemunduran. 

Para penguasa di Washington berupaya menutupi kelemahan ekonomi itu dengan memperluas kekuatan militernya di luar negeri. 

Salah satu tanda penurunan ekonomi tersebut ialah defisit perdagangan yang terus melebar yang dibiayai melalui pinjaman global. Karena dolar menjadi mata uang utama dunia, AS dapat terus berutang tanpa batas.

Investor dan bank sentral di berbagai negara membeli obligasi serta aset keuangan AS yang secara tidak langsung mendanai utang negara itu. 

Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers bahkan menggambarkan sistem ini secara sinis. "Jika Tiongkok ingin menjual barang kepada kita dengan harga yang sangat rendah dan kita memberi mereka selembar kertas yang kita cetak, saya pikir itu kesepakatan yang bagus," katanya. 

Namun, keistimewaan dolar bergantung pada dominasi militer dan politik AS di dunia. Washington pun waspada terhadap potensi munculnya saingan baru, baik dari Uni Eropa dengan mata uang euro maupun Tiongkok di kawasan Asia. Sebagian elite AS merasa perlu bertindak lebih awal untuk mencegah kemunculan kekuatan pesaing tersebut.

Kelahiran PNAC dan Tujuan Globalnya

Upaya ini diwujudkan melalui lembaga pemikir Project for a New American Century (PNAC) yang menjadi basis ideologi kebijakan luar negeri pemerintahan George W. Bush. 

Dalam laporannya tahun 2001 berjudul Rebuilding America's Defenses, PNAC menyatakan bahwa kehadiran militer AS yang besar di kawasan Teluk tetap diperlukan, bahkan jika Saddam Hussein sudah tidak berkuasa. Iran, menurut laporan itu, bisa menjadi ancaman yang sama besar bagi kepentingan AS.

PNAC secara terbuka mendukung cetak biru untuk mempertahankan keunggulan global AS, mencegah munculnya kekuatan besar baru dan membentuk tatanan dunia sesuai kepentingan Amerika.

Gagasan inilah yang kemudian menjadi dasar doktrin politik luar negeri AS setelah peristiwa 11 September 2001. Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza Rice bahkan mengakui bahwa serangan tersebut menjadi kesempatan untuk mengubah bentuk dunia secara fundamental.

Dari Irak hingga Iran, Mengamankan Hegemoni

Behind the Invasion of Iraq berpendapat bahwa invasi ke Irak bukan tujuan akhir, melainkan langkah pertama dari proyek besar untuk mengubah peta politik Asia Barat. 

Pemerintahan Bush disebut mempertimbangkan perubahan rezim di sejumlah negara seperti Iran, Suriah, Libia, Mesir, dan Libanon. Sementara itu, Israel berperan sebagai kekuatan militer lokal yang menegakkan pengaruh AS di kawasan, sekaligus memanfaatkan momentum untuk memperluas kendali atas Palestina.

Seperti dikatakan Wakil Presiden Irak saat itu, Tariq Aziz, yang diinginkan Washington bukan sekadar pergantian rezim melainkan pergantian kawasan.

Minyak, Dolar, dan Kendali Global

Tujuan utama invasi dan intervensi tersebut adalah menjaga dominasi ekonomi AS melalui kendali terhadap sumber daya minyak dunia. 

Dengan memastikan perdagangan minyak tetap dilakukan dalam dolar, AS dapat mempertahankan posisi mata uangnya sebagai alat tukar global. Selain itu, penguasaan atas minyak juga memberi Washington daya tawar terhadap Tiongkok, yang diperkirakan semakin bergantung pada impor energi.

Kekhawatiran atas kebangkitan Tiongkok dan Rusia mendorong kedua negara itu membentuk forum keamanan Shanghai Five, yang kemudian berkembang menjadi Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), sebagai penyeimbang kekuatan AS di kawasan.

Israel sebagai Penegak Regional

Dalam strategi tersebut, Israel diberikan peran sentral sebagai sekutu militer utama. Negara itu diharapkan dapat bertindak agresif terhadap Palestina dan negara-negara Arab, serta mendorong AS untuk menyerang Iran. 

"Iran akan ditekan keras untuk membongkar program nuklir dan misilnya atau menghadapi serangan oleh pasukan AS," tulis seorang analis dalam laporan tersebut.

Transformasi Global dan Domestik

Kebijakan ini juga mengubah posisi AS terhadap sistem internasional. Presiden Bush menyatakan bahwa PBB hanya relevan jika mendukung supremasi Amerika. Melalui National Security Strategy, Washington menegaskan hak untuk melakukan serangan pendahuluan terhadap ancaman potensial dan bersikap unilateral b...

Read Entire Article