Gaza (ANTARA) - September menandai awal tahun ajaran baru bagi anak-anak di berbagai belahan dunia, namun, bagi para pelajar Palestina yang tinggal di Gaza di tengah kecamuk perang, harapan untuk kembali ke sekolah pada bulan ini masih menjadi harapan yang sulit tercapai, sama seperti tahun lalu.
Di pintu masuk sebuah kamp pengungsian di Kota Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, seorang gadis berusia 12 tahun bernama Maram duduk diam. Sebuah tas sekolah usang yang berdebu tergeletak di sampingnya.
"Setiap tahun saya biasanya pergi bersama ibu untuk membeli buku tulis dan pensil baru, tapi, selama tiga tahun terakhir kami tidak membeli apa pun," ungkap dia lirih kepada Xinhua.
"Saya membawa tas sekolah saya, tapi, sekarang saya tidak bisa lagi menggunakannya. Pada waktu-waktu seperti ini, biasanya kami bersiap untuk kembali ke kelas, namun, kini yang saya lihat hanyalah tenda. Terkadang saya menulis di kertas-kertas lama, agar tidak melupakan huruf-hurufnya," ujar Maram.
Di sebelah dia, Ahmed (15), seorang siswa kelas 10 dari Deir al-Balah, mengungkapkan rasa frustrasi yang serupa.
"Saya bercita-cita menjadi insinyur dan membangun rumah untuk keluarga saya, tapi, semuanya terhenti. Sejak awal perang, kami tidak bisa pergi ke sekolah. Beberapa teman saya tewas, yang lainnya mengungsi, dan saya masih belum melihat mereka selama berbulan-bulan," ujar dia kepada Xinhua.
"Jika semakin panjang tahun berlalu tanpa belajar, akan jadi apa saya nanti? Pemuda tanpa pengetahuan atau gelar?".
Di sisi lain, Layan Abu Raya (9), seorang anak yang kini mengungsi di sebuah tenda di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, mengaku sangat merindukan halaman sekolah, guru, dan teman-temannya.
"Di dalam tenda ini, kami terkadang mencoba menulis di beberapa buku tulis yang diberikan oleh badan amal, tapi, saya sering lupa huruf dan kadang-kadang salah menulisnya," kata gadis itu, yang seharusnya duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Lebih dari 660.000 pelajar di Gaza, termasuk ketiga anak tersebut, saat ini tidak memiliki akses ke ruang kelas dan bahan pendidikan karena perang yang kini telah memasuki bulan ke-23 terus merusak infrastruktur dan mengubah sekolah menjadi tempat penampungan bagi keluarga pengungsi, menurut data yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam sebuah pernyataan pers pada Senin (1/9), Komisaris Jenderal Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina di Kawasan Timur Tengah (UNRWA) Philippe Lazzarini memperingatkan bahwa semakin lama anak-anak Gaza "tidak bersekolah dengan trauma mereka, semakin tinggi risiko mereka menjadi generasi yang terabaikan, menabur benih kebencian dan kekerasan lebih lanjut".
Data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Palestina yang berbasis di Ramallah menunjukkan betapa dalamnya krisis tersebut. Pada akhir Agustus, kementerian itu menyebutkan bahwa sebanyak 18.489 pelajar tewas dan 28.854 lainnya luka-luka sejak serangan Israel ke Jalur Gaza dan Tepi Barat dimulai setelah perang pecah pada 7 Oktober 2023.
Di kamp pengungsi al-Nuseirat di Gaza tengah, Abu Mohammed al-Hawwash, seorang ayah dari lima anak, mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam.
"Perang ini telah menghancurkan sekolah-sekolah dan universitas serta menewaskan para pelajar dan guru. Saya khawatir anak-anak saya akan tumbuh dewasa tanpa bisa membaca atau menulis," kata al-Hawwash.
Beberapa guru yang juga mengungsi berusaha mengisi kekosongan dengan memberikan pelajaran secara improvisasi, tapi, upaya mereka tetap terbatas.
Suad al-Awadi (35), seorang guru bahasa Arab yang kini tinggal di sebuah tenda di Khan Younis, mengatakan kepada Xinhua bahwa dia mengumpulkan kelompok anak-anak di kamp tersebut dan berusaha mengajarkan mereka kemampuan dasar membaca dan menulis.
"Terkadang kami menulis huruf di pasir atau di kertas yang robek, dan saya mengulang alfabet serta kata-kata sederhana bersama mereka, agar mereka tidak sepenuhnya lupa," al-Awadi menjelaskan.
Meskipun mereka mendapat sedikit kesempatan untuk mengikuti kelas, banyak anak-anak sudah menghadapi kesulitan belajar yang signifikan akibat perang.

"Beberapa anak sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Mereka telah kehilangan kerabat atau melihat rumah mereka hancur, dan ketika saya mencoba mengajarkan huruf kepada mereka, kadang-kadang mereka menangis atau menceritakan tentang apa yang terjadi pada mereka. Pikiran mereka dipenuhi dengan ketakutan," kata al-Awadi menjelaskan.
Para guru juga mengalami tekanan yang luar biasa karena banyak rekan mereka tewas dan yang lainnya terpaksa mengungsi. Meski menghadapi tantangan, al-Awadi tetap berkomitmen pada pekerjaannya.
"Ketika seorang anak belajar menulis sebuah kata atau melafalkan huruf, saya merasa seolah-olah kita sedang berjuang melawan keputusasaan. Namun, semua orang di sini memahami bahwa pelajaran di atas pasir tidak dapat menggantikan pendidikan yang layak. Anak-anak tersebut pantas mendapatkan yang lebih baik daripada ini," kata al-Awadi.
Pewarta: Xinhua
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.