Beberapa waktu lalu, akibat konten viral TikTok, saya terkaget dengan metode baru penentuan garis indikator kemiskinan ala salah satu anak bangsa Indonesia. Selama ini kita terbiasa membaca hasil survei BPS, laporan Bank Dunia, atau hitungan gini ratio yang bikin kepala pening. Rupanya semua itu terlalu ilmiah, terlalu banyak tabel, terlalu banyak grafik. Sekarang ada cara yang jauh lebih praktis dan instan. Tidak perlu lagi hitungan harga beras atau upah minimum, cukup identifikasi empat sifat ini, maka Anda akan mengenali apakah diri Anda miskin atau tidak?
Saya kira metode ini sungguh revolusioner. Negara bisa menghemat miliaran rupiah dengan mengabaikan riset dan survei. Tak perlu lagi ribet mendata harga kebutuhan pokok atau menghitung indeks pembangunan manusia.
Kemudian bagi para akademisi, Anda tidak perlu lagi merujuk pada teori para ekonom dunia untuk menulis laporan ratusan halaman tentang kemiskinan global. Abaikan teori Karl Marx, barangkali mereka pada masa hidupnya belum menemukan jurus ini.
Ciri pertama orang miskin katanya adalah malas. Mari kita lihat seberapa malas mereka. Di dekat tempat saya tinggal, ada petani yang setelah usai subuh “mruput” begitu kata orang desa, mulai berjalan ke sawah, lalu mereka menunduk berjam-jam di bawah matahari dan kemudian pulang dengan upah lima puluh ribu rupiah.
Selanjutnya, saya juga melihat pedagang sayur naik motor klasik, berangkat sejak pukul tiga pagi, berkeliling kampung sambil berteriak “yuuur, sayuuur”, dan sore harinya ia mendapatkan keuntungan yang rata-rata tidak sampai seratus ribu.
Begitu juga dengan buruh harian alias “tukang manjing”, yang pekerjaannya mengaduk semen, ciri-ciri mereka adalah tangan pecah-pecah, lalu menerima bayaran rata-rata seratus atau seratus lima puluh ribu, maksimal.
Begitulah potret kemalasan orang yang penghasilannya sekitar 100-150 ribu perhari. Jika yang dimaksud orang miskin malas ini adalah kategori ini, maka itulah definisi “malas” dalam keseharian orang miskin yang biasanya saya lihat. Tetapi, jika ternyata yang dimaksud yang berpenghasilan sepuluh ribu perhari, saya belum tahu ciri-cirinya.
Artinya, jika—kalau malas memang benar penyebab kemiskinan “orang berpenghasilan 100-150 di atas”—mungkin mereka yang duduk di ruang dingin berjam-jam dan tidak berkeringat sama sekali, harusnya sudah jatuh miskin sejak dulu. Nyatanya, justru mereka yang paling malas bergerak sering kali rekeningnya paling sehat.
Ciri kedua orang miskin katanya adalah boros. Mari kita coba perhatikan seperti apa boros itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya sering melihat ibu-ibu di warung tetangga membeli cabai, bawang, dan tempe dengan uang receh yang sudah dilipat-lipat. Ada juga bapak-bapak yang tiap sore mampir membeli rokok ketengan, sebatang dua batang, karena membeli sebungkus saja akan menguras dompetnya.
Di pasar pun juga demikian, banyak pedagang sayur yang bercerita bahwa pembeli seringkali datang hanya untuk menawar seikat kangkung dan minta potongan harga seribu rupiah. Bagi orang lain jumlah itu tidak seberapa, tetapi bagi mereka yang dompetnya tipis, seribu rupiah bisa berarti ongkos tambahan untuk anak sekolah.
Jika ini yang disebut boros, maka barangkali kita perlu mengubah definisi kata itu dalam kamus kehidupan. Sebab orang-orang yang disebut boros tadi itu, adalah mereka yang setiap hari menakar, menghitung, dan menunda banyak keinginan. Boros apa, kalau membeli lauk pun hanya cukup digunakan untuk membeli tempe atau ikan asin.
Artinya, kalau memang boros adalah penyebab kemiskinan, mungkin mereka yang sanggup menghabiskan jutaan hanya untuk nongkrong di kafe sudah lama jatuh miskin. Tetapi kenyataannya, yang paling sering dituduh boros justru mereka yang setiap harinya menghitung uang receh agar bisa bertahan hingga akhir bulan.